Jumat, 01 Maret 2013

ISTIGHFAR dan SHALAWAT

Istighfar, yang berarti mohon ampunan kepada Allah SWT, merupakan tradisi ritual Islam yang sangat fundamental. Sebab dalam Istighfar itu mengandung beberapa elemen ruhani, sebagaimana banyak dikutip oleh al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Masalahnya, mengapa Allah dan Rasul-Nya sangat menganjurkan agar hamba-hamba Allah terus menerus beristighfar dan bershalawat? Apa hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, dan keselamatan kehidupan dunia akhirat? Di mana posisi Istighfar, baik secara psikologis maupun secara elementer dalam kosmik ruhani (sufistik) hamba Allah? Inilah yang akan kita kaji bersama sebagai refleksi setiap kita menggerakkan bibir kita dan mendetakkan jantung hati kita. Sejumlah ayat tentang Istighfar atau pertobatan sangat banyak dikutip al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW, misalnya: "Mereka apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, segera ingat akan Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya.(QS. 3:135). "Maka barangsiapa memuji Tuhanmu, dan memohon ampunan kepada-Nya, sungguh Dia Maha penerima Taubat." (QS. 110:3) ".dan orang-orang yang memohon ampun sebelum fajar." (QS. 3:17). "Maha Suci Engkau Wahai Allah, Tuhanku! Dan dengan segala puji bagi-Mu ya Allah Tuhanku, ampunilah aku! Sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat, lagi Maha Pengasih." (HR. al-Hakim). "Barang siapa memperbanyak istighfar, maka akan diberi kelapangan dalam setiap kesusahan dan jalan keluar dari kesempitan. Dan dianugerahi rezeki dari jalan yang tiada disangka-sangka." (HR. Abu Dawud dan Nasa'i). "Sungguh hatiku didera kerinduan yang sangat dalam, sehingga aku beristighfar seratus kali setiap hari." (HR. Muslim). "Meski dosa-dosamu sebanyak buih lautan, sebanyak butir pasir di padang pasir, sebanyak daun di seluruh pepohonan, atau seluruh bialangan jagad semesta, Allah SWT tetap akan selalu mengampuni, bila engkau mengucapkan doa sebanyak tiga kali sebelum engkau tidur: Astaghfirullahal 'Adzim al-Ladzii Laailaaha Illa Huwal Hayyul Qayyuumu wa Atuubu Ilaih. (Aku memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung, tiada Tuhan selain Dia Yang Maha Hidup dan Memelihara (kehidupan), dan aku bertobat kepada-Nya)." (HR. at-Tirmidzi). Makna Terdalam Masih puluhan ayat dan hadits yang membincangkan keutamaan Istighfar. Dalam ucapan yang sering diwiridkan oleh beliau, antara lain: "Aku Mohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung" Ucapan istiughfar ini saja mengandung beberapa makna yang dalam: Pertama, hamba yang beritighfar mengakui eksistensi kehambaannya di hadapan Allah SWT. Sebab hakikat hamba adalah sosok tak berdaya dan tak berupaya, sekaligus gerak-gerik hamba yang muncul dari hamba itu sendiri tanpa penyertaan Allah, berarti adalah ucapan dan tindakan yang salah dan penuh kealpaan. Kedua, hamba yang beritighfar berarti mengakui tajallinya Allah dalam Asma' Keagungan-Nya. Karena Pengampunan Allah itu sendiri merupakan manifestasi dari Kemahaagungan Allah SWT. Musyahadah hamba kepada Asma' Keagungan-Nya, merupakan prestasi paling elementer dalam memandang, siapa sebenarnya dan apa hakikat hamba Allah itu sendiri. Ketiga, Istighfar berarti kefanaan hamba Allah, lebur dalam eksistensi Keagungan Allah Ta'ala. Orang yang tidak pernah beristighfar tidak pernah mampu memasuki peleburan Ilahiah, yang disebut sebagai maqam fana' dalam tasawuf. Dan Istighfar menghantar "kesirnaan" hamba, sampai pada totalitas yang hakiki, hingga mencapai tahap al-baqa'. Yaitu Penyaksian Keabadian Ilahi dalam Keagungan-Nya. Dengan kata lain, Istighfar berarti kefanaan sifat-sifat tercela hamba, kesirnaan dosa-dosa hamba, kehancuran nafsu-nafsu buruk hamba, menuju kebaqaan sifat-sifat terpuji, menuju nafsu-nafsu muthmainnah, radhiyah dan mardhiyah, hingga nafsu ma'rifah. Keempat, Istighfar berarti memupus sifat-sifat ego hamba. Sebab sehebat apa pun prestasi hamba di bidang materi maupun ruhani, tidak bisa mengklaim bahwa prestasi itu semata sebagai hasil usaha hamba. Sebab tanpa anugerah Allah, usaha mencapai puncak prestasi itu tidak akan pernah terwujud. Karena itu pengakuan total bahwa, nafsu egois itu sebagai pihak yang berperan dalam segala usahanya adalah suatu tindakan dosa. Kelima, Istighfar merupakan tindakan yang sangat dicintai oleh Allah SWT. Mahabbatullah tidak pernah terjadi manakala hamba tidak beristighfar setiap saat. Oleh sebab itu, hamba yang beristighfar menumbuhkan rindu dendam kepada Allah, karena memang cinta-Nya Allah turun kepada hamba-Nya yang beristighfar. Sebagaimana dalam al-Qur'an ditegaskan, "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri." Keenam, orang yang beristighfar sangat dicintai oleh Nabi SAW, sebab Istighfar adalah tradisi kecintaan Nabi SAW. Istighfar berkait erat dengan "proses penyucian diri", karenanya Istighfar adalah prasyarat bagi "Tazkiyatun Nafsi". Ketujuh, Istighfar memiliki maqamat dalam kualifikasi ruhani hamba Allah. Maqam pertama, seseorang beristighfar dari segala tindakan dosanya yang dilakukan. Maqam kedua, seseorang beristighfar dari segala kealpaannya sehingga ia tidak lagi melakukan dzikrullah. Maqam ketiga, seseorang beristighfar dari segala hal selain Allah yang memasuki ruang jiwanya. Kedelapan, Istighfar melahirkan perdamaian kemanusiaan, karena dalam Istighfar pun ada macam Istighfar yang bersifat sosial kemanusiaan, yaitu memohonkan ampunan kepada sesama hamba Allah. Istighfar Individu dan Sosial Dalam ritualitas vertikal, seorang hamba tidak hanya meraup kebahagiaan di hadapan Allah, tanpa ia menyertakan sesama umat beriman. Justru kualitas keimanan seseorang sangat berkait erat dengan kepedulian ruhaninya terhadap orang lain. Keteladanan Rasulullah SAW, ketika saat Yaumul Mahsyar memberikan cermin kepada umatnya, bahwa kulitas ruhani Rasulullah SAW, yang melebihi para Nabi dan Rasul, terpantul pada pembelaannya akan nasib umat di hadapan Allah. Suatu sikap yang tidak dimiliki oleh para pemimpin dan para Nabi/Rasul. Sebab ketika para hamba Allah meminta syafa'at kepada para Nabi, mulai Nabi Adam as, hingga Isa al-Masih as, ternyata mereka enggan, disebabkan mereka tidak berdaya, terutama memikirkan nasibnya sendiri-sendiri. Berbeda dengan Nabi Muhammad SAW, yang justru tidak memikirkan nasib dirinya di hadapan Allah, malah yang terucap hanya kalimat: "Umatii.umatii..umatii." (umatku.duh, umatku.umatku.). Justru pembelaan Nabi Muhammad SAW itulah yang memberikan kewenangan padanya, syafa'at besar yang bisa menyelamatkan umat dari siksa Allah SAW. Oleh sebab itu, Islam mengajarkan agar dalam permohonan ampunan, juga menyertakan permohonan ampunan untuk sesama umat. Misalnya, Istighfar yang berbunyi: Astaghfurullahal 'adzim, lii waliwaalidayya, walijami'il huquuqi waajibati 'alayya, walijami'il muslimin wal-muslimaat wal-mu'minin wal mu'minaat al-ahyaa'I minhum wal-amwaat. (Aku mohon ampunan kepada Allah Yang Maha Agung, bagiku dan bagi kedua orang tuaku, dan bagi seluruh orang yang menjadi tanggungan kewajibanku, dan bagi umat muslimin dan muslimat, dan kaum mu'minin dan mu'minat). Dari nilai Istighfar di atas memberikan perspektif luar biasa bagi integrasi dan dinamika sosial secara damai. Hubungan-hubungan sosial akan berlaku dengan penuh kesejatian hati ke hati, karena hubungan yang bersifat emosional negatif dinetralisir oleh istighfar sosial di atas. Makanya, kualitas Istighfar bukan saja ditentukan hubungan yang sangat pribadi dengan Allah, tetapi juga sejauhmana seorang hamba menghayati Istighfar sosialnya. Di Balik Shalawat Nabi SAW Apa hubungan Istighfar dengan Shalawat Nabi SAW? Mengapa dalam praktik sufi, senantiasa ada dzikir Istighfar dan Shalawat Nabi dalam setiap wirid-wiridnya? Hubungan Istighfar dan Shalawat, ibarat dua keping mata uang. Sebab orang yang bershalawat, mengakui dirinya sebagai hamba yang lebur dalam wahana Sunnah Nabi. Leburnya kehambaan itulah yang identik dengan kefanaan hamba ketika beristighfar. Shalawat Nabi, merupakan syari'at sekaligus mengandung hakikat. Disebut syari'at karena Allah SWT, memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman, agar memohonkan Shalawat dan Salam kepada Nabi. Dalam Firman-Nya: "Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya senantiasa bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang beriman bershalawatlah kepada Nabi dan mohonkan salam baginya." (QS. 33: 56) Beberapa hadits di bawah ini sangat mendukung firman Allah Ta'ala tersebut : Suatu hari Rasulullah SAW, datang dengan wajah tampak berseri-seri, dan bersabda: "Malaikat Jibril datang kepadaku sambil berkata, "Sangat menyenangkan untuk engkau ketahui wahai Muhammad, bahwa untuk satu shalawat dari seseorang umatmu akan kuimbangi dengan sepuluh doa baginya." Dan sepuluh salam bagiku akan kubalas dengan sepuluh salam baginya." (HR. an-Nasa'i) Sabda Rasulullah SAW: "Kalau orang bershalawat kepadaku, maka malaikat juga akan mendoakan keselamatan yang sama baginya, untuk itu hendaknya dilakukan, meski sedikit atau banyak." (HR. Ibnu Majah dan Thabrani) Sabda Nabi SAW, "Manusia yang paling uatama bagiku adalah yang paling banyak shalawatnya." (HR. at-Tirmidzi) Sabdanya, "Paling bakhilnya manusia, ketika ia mendengar namaku disebut, ia tidak mengucapkan shalawat bagiku." (HR. at-Tirmidzi). "Perbanyaklah shalawat bagiku di hari Jum'at" (HR. Abu Dawud). Sabdanya, "Sesungguhnya di bumi ada malaikat yang berkeliling dengan tujuan menyampaikan shalawat umatku kepadaku." (HR. an-Nasa'i) Sabdanya, "Tak seorang pun yang bershalawat kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ke ruhku, sehingga aku menjawab salam kepadanya." (HR. Abu Dawud). Tentu, tidak sederhana, menyelami keagungan Shalawat Nabi. Karena setiap kata dan huruf dalam shalawat yang kita ucapkan mengandung atmosfir ruhani yang sangat dahsyat. Kedahsyatan itu, tentu, karena posisi Nabi Muhammad SAW, sebagai hamba Allah, Nabiyullah, Rasulullah, Kekasih Allah dan Cahaya Allah. Dan semesta raya ini diciptakan dari Nur Muhammad, sehingga setiap detak huruf dalam Shalawat pasti mengandung elemen metafisik yang luar biasa. Mengapa kita musti membaca Shalawat dan Salam kepada Nabi, sedangkan Nabi adalah manusia paripurna, sudah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu maupun yang akan datang? Beberapa alasan berikut ini sangat mendukung perintah Allah SWT : Nabi Muhammad SAW adalah sentral semesta fisik dan metafisik, karena itu seluruh elemen lahir dan batin makhluk ini merupakan refleksi dari cahayanya yang agung. Bershalawat dan bersalam yang berarti mendoakan beliau, adalah bentuk lain dari proses kita menuju jati diri kehambaan yang hakiki di hadapan Allah, melalui "titik pusat gravitasi" ruhani, yaitu Muhammad Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW, adalah manusia paripurna. Segala doa dan upaya untuk mencintainya, berarti kembali kepada orang yang mendoakan, tanpa reserve. Ibarat gelas yang sudah penuh air, jika kita tuangkan air pada gelas tersebut, pasti tumpah. Tumpahan itulah kembali pada diri kita, tumpahan Rahmat dan Anugerah-Nya melalui gelas piala Kekasih-Nya, Muhammad SAW. Shalawat Nabi mengandung syafa'at dunia dan akhirat. Semata karena filosofi Kecintaan Ilahi kepada Kekasih-Nya itu, meruntuhkan Amarah-Nya. Sebagaimana dalam hadits Qudsi, "Sesungguhnya Rahmat-Ku, mengalahkan Amarah-Ku." Siksaan Allah tidak akan turun pada ahli Shalawat Nabi, karena kandungan kebajikannya yang begitu par-exellent. Shalawat Nabi, menjadi tawashul bagi perjalanan ruhani umat Islam. Getaran bibir dan detak jantung akan senantiasa membubung ke alam Samawat (alam ruhani), ketika nama Muhammad SAW disebutnya. Karena itu, mereka yang hendak menuju kepada Allah (wushul), peran Shalawat sebagai pendampingnya, karena keparipurnaan Nabi itu menjadi jaminan bagi siapa pun yang hendak bertemu dengan Yang Maha Paripurna. Muhammad, sebagai nama dan predikat, bukan sekadar lambang dari sifat-sifat terpuji, tetapi mengandung fakta tersembunyi yang universal, yang ada dalam Jiwa Muhammad SAW. Dan dialah sentral satelit ruhani yang menghubungkan hamba-hamba Allah dengan Allah. Karena sebuah penghargaan Cinta yang agung, tidak akan memiliki nilai Cinta yang hakiki manakala, estetika di balik Cinta itu, hilang begitu saja. Estetika Cinta Ilahi, justru tercermin dalam Keagungan-Nya, dan Keagungan itu ada di balik desah doa yang disampaikan hamba-hamba-Nya buat Kekasih-Nya. Wallahu A'lam. Para sufi memberikan pengajaran sistematis kepada umat melalui Shalawat Nabi itu sendiri. Dan Shalawat Nabi yang berjumlah ratusan macam itu, lebih banyak justru dari ajaran Nabi sendiri. Model Shalawat yang diwiridkan para pengikut tarekat, juga memiliki sanad yang sampai kepada Nabi SAW. Oleh sebab itu, Shalawat adalah cermin Nabi Muhammad SAW yang memantul melalui jutaan bahkan milyaran hamba-hamba Allah bahkan bilyunan para malaikat-Nya.

Sabtu, 16 Februari 2013

ISLAM dan IMAN APA BEDANYA?

Pertanyaan : Apa definisi Iman itu dan apa perbedaannya antara Iman dan Islam ? Jawab : Islam dalam pengertiannya secara umum adalah menghamba (beribadah) kepada Allah dengan cara menjalankan ibadah-ibadah yang disyari'atkan-Nya sebagaimana yang dibawa oleh para utusan-Nya sejak para rasul itu diutus hingga hari kiamat. Ini mencakup apa yang dibawa oleh Nuh 'Alaihis sallam berupa hidayah dan kebenaran, juga yang dibawa oleh Musa 'Alaihis sallam, yang dibawa oleh Isa 'Alaihis sallam dan juga mencakup apa yang dibawa oleh Ibrahim 'Alaihis sallam, Imamul hunafa' (pimpinan orang-orang yang lurus), sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam berbagai ayat-Nya yang menunjukkan bahwa syari'at-syari'at terdahulu seluruhnya adalah Islam kepada Allah 'Azza wa Jalla. Sedangkan Islam dalam pengertiannya secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah ajaran yang dibawa oleh beliau. Karena ajaran beliau menasakh (menghapus) seluruh ajaran yang sebelumnya, maka orang yang mengikutinya menjadi seorang muslim dan orang yang menyelisihinya bukan muslim karena ia tidak menyerahkan diri kepada Allah, akan tetapi kepada hawa nafsunya. Orang-orang Yahudi adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Musa 'Alaihis sallam, demikian juga orang-orang Nashrani adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Isa 'Alaihis sallam. Namun ketika telah diutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian ia mengkufurinya, maka mereka bukan jadi orang muslim lagi. Oleh karena itu tidak dibenarkan seseorang berkeyakinan bahwa agama yang dipeluk oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini sebagai agama yang benar dan diterima di sisi Allah sebagaimana Dienul Islam. Bahkan orang yang berkeyakinan seperti itu berarti telah kafir dan keluar dari dienul Islam, sebab Allah Ta'ala berfirman. "Artinya : Sesungguhnya Dien yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam". (Ali-Imran : 19) "Artinya : Barangsiapa mencari suatu dien selain Islam, maka tidak akan diterima (dien itu) daripadanya". (Ali-Imran : 85) Islam yang dimaksudkan adalah Islam yang dianugrahkan oleh Allah kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya. Allah berfirman. "Artinya : Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepada nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu". (Al-Maidah : 3) Ini adalah nash yang amat jelas yang menunjukkan bahwa selain umat ini, setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan pemeluk Islam. Oleh karena itu, agama yang mereka anut tidak akan diterima oleh Allah dan tidak akan memberi manfaat pada hari kiamat. Kita tidak boleh menilainya sebagai agama yang lurus. Salah besar orang yang menilai Yahudi dan Nashrani sebagai saudara, atau bahwa agama mereka pada hari ini sama pula seperti yang dianut oleh para pendahulu mereka. Jika kita katakan bahwa Islam berarti menghamba diri kepada Allah Ta'ala dengan menjalankan syari'at-Nya, maka dalam artian ini termasuk pula pasrah atau tunduk kepada-Nya secara zhahir maupun batin. Maka ia mencakup seluruh aspek ; aqidah, amalan maupun perkataan. Namun jika kata Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam berarti amal-amal perbuatan yang zhahir berupa ucapan-ucapan lisan maupun perbuatan anggota badan. Sedangkan Iman adalah amalan batiniah yang berupa aqidah dan amal-amalan hati. Perbedaan istilah ini bisa kita lihat dalam firman Allah Ta'ala. "Artinya : Orang-orang Arab Badui itu berkata : 'Kami telah beriman'. Katakanlah (kepada mereka) : 'Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, 'kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu". (Al-Hujurat : 14) Mengenai kisah Nabi Luth, Allah Ta'ala berfirman. "Artinya : Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri". (Adz-Dzariyat : 35-36) Di sini terlihat perbedaan antara mukmin dan muslim. Rumah yang berada di negeri itu zhahirnya adalah rumah yang Islami, namun ternyata di dalamnya terdapat istri Luth yang menghianatinya dengan kekufurannya. Adapun siapa saja yang keluar dari negeri itu dan selamat, maka mereka itulah kaum beriman yang hakiki, karena keimanan telah benar-benar masuk ke dalam hati mereka. Perbedaan istilah ini juga bisa kita lihat lebih jelas lagi dalam hadits Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu, bahwa Jibril pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai Islam dan Iman. Maka beliau menjawab : "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah". Mengenai Iman beliau menjawab : "Engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya, hari AKhir, serta beriman dengan qadar yang baik dan yang buruk". Walhasil, pengertian Islam secara mutlak adalah mencakup seluruh aspek agama termasuk Iman. Namun jika istilah Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan yang zhahir yang berupa perkataan lisan dan perbuatan anggota badan. Sedangkan Iman ditafsirkan dengan amalan-amalan batiniah berupa i'tiqad-i'tiqad dan amalan hati.